Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Korea Utara memiliki sejarah panjang yang dimulai pada masa Perang Dingin. Kedua negara yang secara ideologi memiliki perbedaan mendasar, dengan Indonesia yang pada akhirnya memilih jalan non-blok, sementara Korea Utara menganut paham komunisme dengan aliran Juche yang diciptakan oleh pendirinya, Kim Il-sung.
Meskipun berbeda pandangan politik, Indonesia dan Korea
Utara berhasil menjalin hubungan baik yang berlangsung hingga hari ini, dengan
latar belakang sejarah, kepentingan geopolitik, serta hubungan antar pemimpin
negara yang kuat pada masa lalu.
Awal Mula Hubungan Diplomatik
Indonesia secara resmi menjalin hubungan diplomatik dengan
Korea Utara pada tahun 1961, di masa pemerintahan Presiden Sukarno. Hubungan
ini terjalin di tengah-tengah situasi global yang dipenuhi ketegangan ideologis
antara blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan blok Timur yang dipimpin
oleh Uni Soviet. Indonesia, di bawah kepemimpinan Sukarno, mengusung prinsip
politik luar negeri bebas aktif yang mencoba tidak memihak secara langsung
kepada blok manapun. Namun, Sukarno memiliki kecenderungan untuk mendukung
negara-negara yang menentang imperialisme Barat, termasuk Korea Utara.
Dalam konteks ini, Korea Utara yang berjuang untuk
eksistensinya sebagai negara komunis di Semenanjung Korea, mendapatkan
perhatian dari Indonesia. Kedua negara saling memandang satu sama lain sebagai
sahabat dalam perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme, sebuah narasi
yang dominan dalam diplomasi era Sukarno. Kim Il-sung, pemimpin Korea Utara
saat itu, menghargai dukungan Sukarno dan menyebutnya sebagai salah satu
pemimpin dunia yang memiliki pengaruh besar dalam melawan dominasi kekuatan
Barat.
Kunjungan Bersejarah Kim Il-sung ke Indonesia
Salah satu momen penting dalam sejarah hubungan Indonesia
dengan Korea Utara terjadi pada tahun 1965, ketika Kim Il-sung melakukan
kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Kunjungan ini sangat monumental, bukan hanya
karena itu merupakan kunjungan pertama Kim Il-sung ke negara Asia Tenggara,
tetapi juga karena hubungan personal yang terjalin antara Kim Il-sung dan
Presiden Sukarno.
Selama kunjungannya, Kim Il-sung diundang untuk menghadiri
perayaan ulang tahun Presiden Sukarno di Kebun Raya Bogor. Di sana, Sukarno
memberikan hadiah yang sangat berharga bagi Kim Il-sung, yaitu anggrek langka
yang kemudian diberi nama Kimilsungia. Hingga saat ini, Kimilsungia
menjadi simbol penting dalam hubungan kedua negara dan terus dirayakan di Korea
Utara setiap tahun, menunjukkan bagaimana Korea Utara masih menghormati
hubungan dengan Indonesia yang pernah sangat erat.
Dampak Pergantian Rezim
Meski hubungan antara Sukarno dan Kim Il-sung sangat erat,
pergantian rezim di Indonesia pada tahun 1966 dengan naiknya Jenderal Suharto
sebagai presiden membawa perubahan signifikan dalam hubungan kedua negara.
Suharto yang dikenal dengan kebijakan anti-komunisnya melalui Orde Baru,
mengubah arah kebijakan luar negeri Indonesia secara drastis. Salah satu
kebijakan utamanya adalah memutuskan hubungan dengan negara-negara yang terkait
dengan komunisme, seperti China dan Uni Soviet.
Namun, anehnya, meskipun kebijakan anti-komunis ini
diterapkan secara ketat, hubungan Indonesia dengan Korea Utara tidak terputus
sepenuhnya. Meskipun tidak seerat di era Sukarno, Indonesia tetap menjaga
hubungan diplomatik dengan Korea Utara. Salah satu alasannya adalah peran
Indonesia dalam Gerakan Non-Blok yang terus mengutamakan pendekatan dialog dan
netralitas dalam hubungan internasional, meskipun secara internal pemerintah
Orde Baru sangat membatasi ideologi komunisme.
Hubungan di Era Pasca-Orde Baru
Setelah jatuhnya Orde Baru dan dimulainya era Reformasi di
Indonesia pada tahun 1998, hubungan antara Indonesia dan Korea Utara tetap
berjalan meskipun ada perubahan yang signifikan dalam dinamika geopolitik
global. Indonesia yang semakin membuka diri terhadap demokrasi dan hak asasi
manusia, tetap berusaha menjaga hubungan baik dengan Korea Utara, meskipun
negara tersebut sering mendapat kritik internasional atas pelanggaran hak asasi
manusia dan program nuklirnya yang kontroversial.
Pada tahun 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri, putri dari
Sukarno, melakukan kunjungan ke Korea Utara dan bertemu dengan Kim Jong-il,
putra Kim Il-sung yang melanjutkan kepemimpinan di negara tersebut. Kunjungan
ini dianggap sebagai upaya untuk menghidupkan kembali hubungan bersejarah
antara kedua negara, terutama karena adanya ikatan personal antara keluarga
Sukarno dan dinasti Kim.
Indonesia juga menjadi salah satu dari sedikit negara di
dunia yang terus berperan sebagai mediator dalam berbagai isu internasional
yang melibatkan Korea Utara, seperti konflik di Semenanjung Korea. Sebagai
anggota ASEAN dan Gerakan Non-Blok, Indonesia sering menekankan pentingnya
dialog damai dan solusi diplomatik dalam menyelesaikan konflik, termasuk dalam
isu nuklir Korea Utara.
Dinamika Ekonomi dan Perdagangan
Di luar hubungan politik, aspek ekonomi antara Indonesia dan
Korea Utara tidak begitu signifikan. Perdagangan antara kedua negara terbilang
sangat kecil dibandingkan dengan negara-negara lain yang menjadi mitra dagang
utama Indonesia. Beberapa produk seperti tekstil, kimia, dan produk pertanian
menjadi komoditas yang diperdagangkan, tetapi volumenya tidak besar. Sanksi
internasional terhadap Korea Utara terkait program nuklir dan pelanggaran hak
asasi manusia juga menjadi faktor penghambat dalam perkembangan hubungan
ekonomi kedua negara.
Meskipun demikian, Korea Utara tetap tertarik untuk
mempertahankan hubungan baik dengan Indonesia, terutama dalam bidang-bidang
yang tidak terlalu terpengaruh oleh sanksi internasional, seperti pertukaran
budaya dan pendidikan. Indonesia juga berusaha untuk tetap memanfaatkan posisi
uniknya sebagai salah satu negara yang masih memiliki akses diplomatik dengan
Korea Utara, meskipun tidak secara terbuka memihak dalam berbagai konflik yang
melibatkan negara tersebut.
Tantangan dan Prospek Masa Depan
Seiring dengan perkembangan situasi di Semenanjung Korea dan
perubahan dalam politik global, hubungan Indonesia dengan Korea Utara
menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah tekanan dari komunitas
internasional yang menuntut sanksi lebih keras terhadap Korea Utara terkait
program nuklirnya. Indonesia, sebagai anggota Dewan Keamanan PBB dan negara
yang berkomitmen pada perdamaian dunia, harus menyeimbangkan antara menjaga
hubungan diplomatik dengan Korea Utara dan mematuhi resolusi PBB terkait sanksi.
Di sisi lain, prospek masa depan hubungan kedua negara masih tetap terbuka, terutama jika ada perubahan signifikan dalam kebijakan luar negeri Korea Utara di bawah kepemimpinan Kim Jong-un. Indonesia yang memiliki pengalaman panjang dalam diplomasi dan peran sebagai mediator di kawasan Asia Pasifik, dapat terus memainkan peran penting dalam mendorong dialog dan perdamaian di Semenanjung Korea.