Hubungan antara Indonesia dan Singapura adalah salah satu
hubungan bilateral yang paling signifikan di Asia Tenggara.
Kedua negara yang bertetangga ini memiliki ikatan sejarah,
ekonomi, politik, dan budaya yang kompleks, berkembang dari masa penjajahan
hingga menjadi mitra strategis di era modern.
Meskipun pernah mengalami pasang surut, hubungan Indonesia
dan Singapura terus berkembang, mencerminkan pentingnya kerjasama antara dua
negara yang saling bergantung.
Masa Penjajahan dan Awal Mula Interaksi
Hubungan antara wilayah yang sekarang dikenal sebagai
Indonesia dan Singapura dimulai jauh sebelum kedua negara merdeka. Selama masa
penjajahan, baik Indonesia maupun Singapura berada di bawah kekuasaan kolonial
Eropa. Indonesia dijajah oleh Belanda, sementara Singapura menjadi koloni
Inggris sejak 1819 setelah pendirian pelabuhan oleh Sir Stamford Raffles.
Kedekatan geografis menjadikan Singapura sebagai salah satu pusat perdagangan
yang penting bagi wilayah Nusantara, dengan aktivitas perdagangan lintas batas
yang ramai melalui Selat Malaka.
Pada masa penjajahan ini, banyak pedagang dan pekerja dari
Jawa, Sumatra, dan daerah lain di Indonesia yang datang ke Singapura untuk
mencari nafkah. Komunitas Indonesia di Singapura semakin berkembang dan
memberikan pengaruh dalam kehidupan sosial dan ekonomi di pulau tersebut.
Periode Pasca-Kemerdekaan dan Tensi Awal
Setelah merdeka pada tahun 1945, Indonesia di bawah Presiden
Sukarno mulai membentuk kebijakan luar negeri yang lebih mandiri dan berusaha
memperluas pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara. Singapura, di sisi lain, baru
merdeka dari Inggris pada tahun 1965 setelah berpisah dari Federasi Malaysia.
Pada masa awal kemerdekaan, hubungan kedua negara tidak selalu harmonis. Salah
satu puncak ketegangan terjadi selama periode Konfrontasi (1963-1966),
ketika Indonesia di bawah kepemimpinan Sukarno menentang pembentukan Federasi
Malaysia, yang termasuk Singapura pada saat itu.
Sukarno menganggap pembentukan Malaysia sebagai "proyek
neokolonialisme" yang didukung oleh Inggris. Akibatnya, Indonesia
melancarkan kebijakan Konfrontasi yang mencakup serangkaian tindakan
militer dan sabotase di wilayah Malaysia dan Singapura. Salah satu insiden
terkenal adalah pemboman MacDonald House di Orchard Road, Singapura, pada 1965
yang dilakukan oleh agen Indonesia. Insiden ini menyebabkan kematian tiga orang
dan menambah ketegangan hubungan kedua negara. Setelah jatuhnya Sukarno dan
naiknya Presiden Suharto, hubungan antara Indonesia dan Singapura mulai
membaik, seiring dengan diakhirinya kebijakan Konfrontasi dan dimulainya
hubungan diplomatik formal pada tahun 1966.
Era Orde Baru dan Hubungan Ekonomi
Ketika Suharto memimpin Indonesia selama era Orde Baru,
hubungan bilateral dengan Singapura mulai memasuki fase baru yang lebih
positif. Di bawah kepemimpinan Lee Kuan Yew di Singapura dan Suharto di
Indonesia, kedua negara melihat pentingnya stabilitas regional dan kerjasama
ekonomi. Singapura, yang pada saat itu berkembang pesat sebagai pusat
perdagangan dan keuangan internasional, melihat Indonesia sebagai mitra
strategis dalam hal sumber daya alam, tenaga kerja, dan pasar ekonomi.
Dalam beberapa dekade berikutnya, hubungan ekonomi antara
kedua negara tumbuh dengan pesat. Singapura menjadi salah satu investor asing
terbesar di Indonesia, terutama di bidang manufaktur, energi, dan
infrastruktur. Kerjasama ekonomi semakin diperkuat dengan pembentukan Batam
sebagai kawasan industri pada tahun 1970-an. Batam, yang dekat dengan
Singapura, menjadi pusat industri manufaktur yang memanfaatkan kedekatan
geografisnya untuk menarik investasi dari Singapura.
Di sisi lain, Indonesia menjadi salah satu sumber utama
tenaga kerja bagi Singapura. Banyak pekerja migran Indonesia, terutama di
sektor domestik, bekerja di Singapura. Meskipun hubungan tenaga kerja ini
sering menimbulkan tantangan, seperti masalah perlindungan hak-hak pekerja
migran, kerjasama di bidang ini tetap menjadi komponen penting dalam hubungan
kedua negara.
Dinamika Politik dan Diplomatik
Selama masa Orde Baru, hubungan politik antara Indonesia dan
Singapura relatif stabil, meskipun terdapat perbedaan pandangan dalam beberapa
isu. Lee Kuan Yew dan Suharto dikenal memiliki hubungan yang saling
menghormati, meskipun pendekatan kedua pemimpin dalam hal pembangunan nasional
sangat berbeda. Suharto memimpin dengan gaya otoriter yang berfokus pada
stabilitas politik internal, sementara Lee Kuan Yew membangun Singapura dengan
menekankan pada meritokrasi dan pemerintahan yang bersih dari korupsi.
Namun, setelah jatuhnya Orde Baru dan dimulainya era
Reformasi di Indonesia pada tahun 1998, dinamika politik antara kedua negara
mengalami perubahan. Indonesia yang semakin demokratis dan terbuka mengalami
perubahan kebijakan luar negeri yang lebih dinamis. Beberapa isu sempat memicu
ketegangan, seperti masalah ekstradisi buronan koruptor yang melarikan diri ke
Singapura dan perbedaan pandangan mengenai kebijakan kabut asap dari kebakaran
hutan di Indonesia yang memengaruhi kualitas udara di Singapura.
Meski demikian, hubungan diplomatik tetap kuat, dengan kedua
negara terus melakukan dialog dalam berbagai forum regional seperti ASEAN dan
APEC. Singapura juga memainkan peran penting dalam mendukung stabilitas ekonomi
Indonesia selama krisis finansial Asia pada akhir 1990-an, dengan memberikan
bantuan dan dukungan investasi.
Kerjasama Militer dan Keamanan
Selain hubungan ekonomi, Indonesia dan Singapura juga
memiliki kerjasama yang erat di bidang militer dan keamanan. Kedua negara
sering terlibat dalam latihan militer bersama dan berbagi informasi intelijen,
terutama dalam menghadapi ancaman terorisme dan kejahatan lintas batas. Salah
satu bentuk kerjasama militer yang signifikan adalah perjanjian patroli maritim
bersama di Selat Malaka untuk mengamankan jalur perdagangan yang sangat penting
bagi ekonomi kedua negara.
Isu keamanan seperti penyelundupan manusia, narkoba, dan
senjata api melalui jalur laut juga menjadi perhatian bersama, dengan kedua
negara berkomitmen untuk meningkatkan koordinasi dalam upaya penanggulangan
kejahatan lintas batas tersebut.
Hubungan di Era Modern
Memasuki abad ke-21, hubungan Indonesia dan Singapura
semakin matang dan strategis. Di era Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri
Lee Hsien Loong, kedua negara memperkuat kemitraan mereka di berbagai bidang,
termasuk ekonomi digital, energi, pendidikan, dan infrastruktur.
Singapura tetap menjadi salah satu investor terbesar di
Indonesia, dengan banyak proyek investasi di berbagai sektor, mulai dari
properti hingga teknologi. Kawasan Batam-Bintan-Karimun terus menjadi simbol
kerjasama ekonomi yang kuat antara kedua negara, dengan Singapura memanfaatkan
kedekatan geografis dan hubungan perdagangan yang saling menguntungkan.
Di sisi lain, Indonesia juga memanfaatkan kedekatannya
dengan Singapura sebagai hub keuangan global untuk menarik lebih banyak
investasi asing. Dalam bidang pariwisata, Singapura menjadi salah satu sumber
utama wisatawan asing bagi Indonesia, terutama ke Bali dan pulau-pulau di
sekitar Batam dan Bintan.
Tantangan dan Prospek Masa Depan
Meski hubungan Indonesia dan Singapura umumnya positif,
terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi di masa depan. Isu kabut asap
akibat kebakaran hutan di Indonesia masih menjadi masalah yang mempengaruhi
hubungan kedua negara, terutama selama musim kemarau. Singapura sering
mengeluhkan dampak kabut asap terhadap kesehatan dan lingkungan, sementara
Indonesia berupaya untuk mengatasi masalah ini melalui langkah-langkah
penegakan hukum dan pencegahan kebakaran.
Selain itu, masalah perlindungan pekerja migran Indonesia di Singapura juga terus menjadi perhatian. Meskipun telah ada perbaikan dalam regulasi dan perlindungan, isu ini tetap sensitif dan membutuhkan kerjasama lebih lanjut untuk memastikan hak-hak pekerja migran dihormati.